GoHappyLive.com, JAKARTA- Tiga dari lima film dokumenter keluar sebagai pemenang di ajang Eagle Awards Documentary Competition (EADC) 2018. Film berjudul Damai Dalam Kardus garapan sutradara Andi Imli Utami dan Suleman Nur dan DOP, Nurtaqdir Anugrah meraih juara pertama. Kemudian diikuti sebagai juara kedua, film Menabur Benih di Lumpur Asmat , karya sutradara Yosef Levi dan Bernad Koten dan juara ketiga film Pusenai The Last Dayak Basap, karya sutradara Fajaria Menur Widowati dan DOP, Miftahuddin.
Ketiga film terbaik ini merupakan pilihan juri yang terdiri dari sutradara kawakan Garin Nugroho, Nia Dinata dan Supriyo Sen, pakar pembuat film dokumenter adal India.
Kali ini ketiga pemenang berhak membawa ratusan juta uang tunai dan kamera professional untuk menunjang mereka dalam berkarya. Selain itu para finalis juga mendapat fasilitasi beasiswa pasca sarjana dan bebas memilih universitas yang diinginkan.
EADC 2018 mengangkat ‘Menjadi Indonesia’ untuk dikembangkan peserta ke dalam film documenter karya mereka.
Seperti film ‘Damai Dalam Kardus yang berhasil meraih juara satu, mengisahkan sosok Gunawan (30) lahir dan tumbuh di tengah kerusuhan agama yang berlangsung di Poso selama lebih dari satu decade. Kerusuhan ini tidak hanya menghancurkan kotanya, tapi juga memecah keuntuhan keluarganya sehingga ibunya yang muslim dan ayahnya seorang kristiani harus berpisah.
Bertahun-tahun hidup terpisah dari ayahnya, membuat Gunawan dendam terhadap konflik agama yang terjadi di Poso. Inilah yang membawanya menjelajahi Poso bersama kardus-kardus berisi buku, menembus daerah terpapar konflik hingga ke wilayah basis teroris untuk membawa pesan perdamaian. Bersama puluhan kardusnya pula Gunawan percaya suatu saat akan menemukan sang ayah.
“Dokumentasi ini bukanlah narasi politik, tapi narasi kecil anak-anak muda Salah satu contoh, bagaimana di daerah konflik, pasangan keluarga beda agama, Kondisi ini jelas bukan kondisi yang diinginkan anaknya. Melalui ajang ini kita ingin memberi ruang-ruang komunikasi naratif dengan cerita sederhana. Dimana masih ada anak-anak muda yang mau bekerja melalui wadah film documenter ini,” ucap Garin Nugroho, Kepala Dewan Juri EADC 2018, disela acara Premier dan Awarding Ceremony Antologi 5 Film EADC 2018 ‘Menjadi Indonesia’, di CGV , Grand Indonesia, awal pekan ini.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, di tahun 2018 ini peserta bukan pemula dalam membuat film documenter.
“Kita memberikan kesempatan pada alumni EADC yang masih memiliki passion di film documenter untuk mengikuti ajang ini lagi, karena konsep yang kita angkat adalah Master Class,” papar Kioen Moe, Ketua Yayasan Eagle Institute Indonesia.
Di tahun ke-14 penyelenggaraan EADC, Yayasan Eagle Institute Indonesia berkolaborasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BMPT).
Kepala BMPT, Komjen Pol Suhardi Alius memberi alasan soal pengangkatan tema Menjadi Indonesia pada EADC 2018 kali ini.
“Tema ini luar biasa, karena nasionalisme itu sekarang mulai tereduksi oleh banyak hal. Melalui tema ini kita ingin semangat nasionalisme bangkit lagi di kalangan generasi millenial. Apalagi sekarang era gadget, anak-anak sekarang apa yang dia tonton orang yang mereka suka. Anak milenial dari usia 15 sampai 25 tahun, merupakan sasaran brainwashing,” ujar Suhardi.
Suhardi punya harapan besar terhadap tema “Menjadi Indonesia”. Dia yakin akan lahir para sineas muda film documenter yang bisa memunculkan sebuah program dan gagasan mengenai keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tema ini dianggap tepat waktu untuk digunakan kembali di tengah masa politik seperti saat ini.
“Kita percaya bahwa film dapat mempererat nilai-nilai kebangsaan. Kita bisa berkaca pada refleksi sumpah pemuda mereka berikrar untuk bertanah air dan berbangsa satu Indonesia. Dan semangat itu imunculkan dalam Eagle Award ini,” pungkas Suhardi.