GoHappyLive.com, JAKARTA- Keterlibatan anak-anak dalam aksi turun ke jalan atas penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang Omnibus Law pada hari Kamis, 8/10 lalu mendapat kecaman keras dari Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Dari data Polda Metro Jaya setidaknya ada 1.066 anak dengan rentang usia SMP sampai SMA/SMK terlibat dalam aksi unjuk rasa yang melibatkan buruh, mahasiswa dan elemen masyarakat itu.
Ketua Umum Kowani, Dr. Ir. Giwo Rubianto saat memberi keterangan pers secara virtual pada Sabtu, 10/10 menyesalkan peristiwa tersebut
“Data yang kami terima dari Polda Metro Jaya bahwa pada hari Rabu ada 66 anak dilibatkan aksi dan pada Kamis sekitar 1.000 anak dilibatkan aksi,” ungkap Giwo dihadapan sejumlah pengurus DPP Kowani yang mengikuti acara press conference virtual pada akhir pekan itu.
Ajakan turun ke jalan sebelumnya telah berseliweran di sejumlah WhatsApp Group kalangan pelajar.
Hal itu diketahui ketika polisi melakukan pemeriksaan pada telepon selular pendemo di bawah umur itu. Isinya tentu saja terkait ajakan demo menolak UU Cipta Kerja.
Dalam konteks ini, Giwo menyoroti adanya pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan terhadap UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Pada Pasal 15 UU 35 Tahun 2014 menyebutkan, “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung kekerasan, pelibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual”. Jadi jelas pelibatan anak dalam kegiatan politik termasuk penyampaian aspirasi politik di jalanan adalah bertentangan dengan UU perlindungan anak,” papar Giwo.
Ditambahkan Giwo , anak-anak yang seharusnya terlindungi justru menjadi korban dari beredarnya informasi memecah belah para pemimpin bangsa, memecah belah anak bangsa apalagi jika informasi yang tersebar berisikan berita bohong atau hoax.
“Pelanggaran pada UU perlindungan anak tidak saja secara fisik tapi juga Pelibatan anak pada aksi menolak UU Omnibus Law tidak saja terjadi secara fisik tetapi anak juga menjadi korban hate speech atau ujaran kebencian,” kata Giwo, miris.
Tak hanya itu penolakan terhadap UU Omnibus Law juga berimbas pada pengrusakan fasilitas umum. Penyebabnya aksi unjuk rasa kerap disusupi pihak-pihak yang ingin menciptakan kondisi tidak kondusif. Aksi pengrusakan ini tidak saja terjadi di DKI Jakarta namun juga di sejumlah kota.
“Saya melihat sendiri bagaimana fasilitas umum dan ada toko dibakar oleh oknum penyusup,” ujar Giwo.
Pada kesempatan tersebut, Giwo mengajak para orangtua dan pihak sekolah tidak memberi akses pada anak untuk terlibat dalam aksi unjuk rasa. Terlebih saat ini masih dalam kondisi covid 19, Giwo berharap semua pihak dapat menjaga kesehatan.
“Jangan sampai ada kluster demonstrasi yang korbannya adalah anak-anak kita. Pandemi ini masih menghantui ita semua, saya harapkan para orang tua, pendidik dapat menjaga kondisi, menjaga anak-anaknya,” urainya.
“Kepada para keluarga dan pendidik untuk menjaga situasi tetap kondusif dengan menjaga anak-anak mereka tetap terlindungi. Apalagi saat ini pandemi Covid-19 masih menghantui kita semua. Jangan sampai anak-anak menjadi korban dari kluster demonstrasi dalam penularan Covid-19. Karena yang namanya aksi demonstrasi, penerapan protokol kesehatan menjadi longgar. Mereka tidak menjaga jarak, tidak menggunakan masker sesuai aturan, tidak sering mencuci tangan dengan hand sanitizer. Padahal saat ini angka penularan Covid-19 di DKI Jakarta masih sangat tinggi,” tutup Giwo.