Sun. Nov 24th, 2024

GoHappyLive. Com, JAKARTA– Kanker paru masih menjadi  penyumbang  kematian tertinggi di Indonesia. Mengacu pada laporan terbaru Globocan 2020, persentase angka kematian kanker paru di Indonesia mencapai 13,2% dibandingkan dengan total kematian dari seluruh kanker lainnya.

 

 

Penyakit ini merupakan kanker penyebab kematian terbanyak bagi pria sebanyak 18,5% dan menjadi salah satu penyebab kematian utama bagi perempuan sebanyak 7,1%. Riwayat merokok bukan hanya satu-satunya penyebab kanker paru, walaupun masih menjadi penyebab utama.

Di Asia Pasifik, jumlah wanita dan perokok pasif, menderita kanker paru lebih tinggi
dibandingkan wilayah lain di dunia. Hampir seluruh kasus kanker paru tersebut baru terdiagnosis di stadium lanjut.

Oleh sebab itu para ahli menilai perlunya perhatian lebih terhadap kanker paru
sebagai prioritas penanggulangan penyakit tidak menular.

Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH mengatakan untuk menurunkan angka kematian kanker secara menyeluruh, kita harus fokus mengatasi kelompok dengan kematian tertinggi yakni kanker paru.

“Oleh sebab itu dalam diskusi bersama para ahli, poin-poin penting yang kami bahas adalah peningkatan pencegahan dan diagnosis kanker paru, peningkatan akses untuk penanganan yang tepat dan akurat sesuai tipe-tipe kanker paru yang ada, terutama lewat program JKN, dan
pembiayaan yang inovatif untuk mendukung keberlangsungan program JKN,” ungkap Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, pada kegiatan dialog bersama pemangku kepentingan kanker paru Indonesia dengan tema ”Kanker Paling Mematikan di Indonesia: Seberapa Jauh Telah Kita Atasi dan Apa yang Dapat Kita Lakukan?”,  baru-baru ini di Jakarta.

Dialog ini diselenggarakan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dalam rangka Hari Kanker Sedunia yang jatuh pada 4 Februari 2021.

Dalam acara ini Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, ahli kesehatan masyarakat, bertindak sebagai narasumber serta moderator, dengan narasumber lain adalah Dr. dr. Tubagus Djumhana, SpPD-KHOM, Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (PERHOMPEDIN); dr. Sita Laksmi Andarini, SpP(K), PhD dari Pokja Onkologi Toraks Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); Dr. dr. Lisnawati, SpPA(K), mewakili Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia (IAPI); Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, SpFK, sebagai salah satu ahli Farmakologi; Prof. Dr.dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FACP, Ketua Yayasan Kanker Indonesia; dan Aryanthi Baramuli, Ketua Cancer Information and Support Center (CISC).

Prof Hasbullah menambahkan  pada sebuah studi komparatif tentang kebijakan terkait kanker paru antar negara di Asia Pacific yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2020 menghasilkan penilaian dan rekomendasi bahwa profil kebijakan kanker paru Indonesia masih berada di nilai sedang menuju rendah untuk semua parameter dibandingkan negara lainnya.

“Pemerintah juga perlu segera mencari solusi pendanaan inovatif untuk mengatasi masalah keterbatasan dana JKN sehingga pasien-pasien kanker, khususnya kanker paru, tetap dapat memperoleh pelayanan terapi kanker yang paling optimal memberikan harapan hidup 5 tahun lebih
panjang dan kualitas hidup lebih baik.” ujar Prof. Hasbullah.

Sedangkan dr. Tubagus Djumhana, SpPD-KHOM, Ketua PERHOMPEDIN, menjelaskan, bahwa angka tahan hidup kanker paru sangat tergantung pada diagnosis.

“Mayoritas kasus kanker paru baru diketahui saat stadium lanjut 3 atau 4, dengan angka tahan hidup yang semakin rendah. Oleh sebab itu diagnosis yang tepat dan cepat sangat berarti guna memastikan pasien mendapatkan penanganan yang juga tepat dan akurat sesuai tipe kanker paru,”ujarnya.

Sehingga diperlukan kerja sama multidisiplin yang baik agar dapat menangani pasien kanker paru secara menyeluruh dari mulai diagnosis, pengobatan hingga
pemantauan.

dr. Sita Laksmi Andarini, SpP(K), PhD Pokja Onkologi Toraks PDPI; menambahkan prioritaskan tindakan pengendalian dan pencegahan kanker paru sebagai penyumbang kematian tertinggi dari seluruh kanker.

“Pengendalian kanker melalui promosi kesehatan (pengendalian rokok), meningkatkan kewaspadaan, dan deteksi dini, terutama pada kelompok risiko tinggi (laki-laki, perokok, di atas usia 40 tahun). Deteksi dini dan diagnosis kanker paru seperti biopsi dan bronkoskopi harus tersedia secara luas,” paparnya.

Saat ini, perkembangan diagnosis dan tatalaksana kanker paru di Indonesia sesuai dengan standar pedoman diagnosis dan tatalaksana internasional. 90% dari kanker paru merupakan KankerParu jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK atau non-small cell lung cancer). Tatalaksana kanker paru tergantung akan jenis, stadium dan performance status pasien. Untuk stadium 1,2,3 dapat dilakukan tindakan pembedahan, yang dapat diikuti oleh radioterapi atau kemoterapi.

Sedangkan pada stadium IV, tatalaksana kanker paru bergantung pada driver oncogen atau penanda molekuler yang menyertainya. Pada populasi Indonesia, EGFR mutasi positif dapat ditemukan sekitar 48% KPKBSK, dan tatalaksana dengan targeted therapy (EGFR TKI). Pada populasi kanker paru yang lebih muda, dapat ditemukan mutasi ALK (5%) sebagai penanda terapi untuk ALKi inhibitor.

Sekitar 30% pasien kanker paru dengan EGFR dan ALK negatif, memiliki ekspresi PD-L1 ≥50% yang merupakan penanda untuk imunoterapi.

Saat ini pasien dengan mutasi EGFR dapat mendapatkan pengobatan EGFR-TKI (tablet) melalui program JKN, dan seluruh pasien yang memiliki EGFR mutasi negatif hanya mendapatkan kemoterapi, walaupaun memiliki ALK positif maupun ekspresi PD-L1≥50%, yang seharusnya dapat mendapatkan terapi sesuai dengan guidelines untuk memperpanjang angka tahan hidup.

Prof. Dr.dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FACP, ketua YKI mengatakan tersedianya akses ke diagnostik yang memadai menjadi salah satu kunci untuk mencapai penanganan yang baik.

“Sayangnya skrining dan diagnostik masih menjadi kendala yang mengakibatkan pasien baru dapat mengetahui kanker ketika sudah di stadium lanjut, Lebih menggiatkan usaha pengendalian rokok juga sangat penting untuk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahayanya rokok bukan hanya untuk perokok aktif, tapi juga perokok pasif, “ujarnya.

Aryanthi Baramuli, Ketua CISC mengatakan bagi para pasien, dukungan dari seluruh pihak untuk penanganan kanker paru yang lebih baik sangat bermakna.

“Setelah acara ini PKJS-UI merangkum hasil diskusi dari pemangku kepentingan untuk dijadikan sebuah rekomendasi tertulis yang akan disampaikan pemerintah untuk membantu peningkatan penanganan pasien kanker paru, “pungkasnya.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *