Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), Drs Nurul Falah Eddy Pariang, Apt, akhir pekan lalu melantik 118 pengurus baru periode 2018-2022 di Jakarta. Sejumlah tantangan menghadang kepengurusan kali ini yang harus mampu dijawab selama 4 tahun ke depan.
‘’Setidaknya ada empat tantangan besar yang harus mampu kita jawab. Yang pertama adalah keberadaan apoteker di apotek. Jadi apotek seharusnya merupakan tempat pengabdian profesi, bukan tempat berdagang obat. Yang kedua, menghadapi era JKN ini kita ingin supaya apoteker diberi kesempatan untuk praktek kefarmasin yang baik juga diberi imbalan yang memadai dalam bentuk profesional fee,’’ ungkap Nurul usai disela upacara pelantikan.
Dikatakan, saat ini apoteker mendapatkan upahnya berdasarkan harga obat, bukan dari ketrampilannya melakukan praktek kefarmasian. Karena itu IAI ingin mendudukan apoteker ke posisi yang sebenarnya.
‘’Kemudian yang ketiga tantangan kita adalah digitalisasi di obat-obatan. Penjualan online obat-obatan sedemikain marak, kita ingin supaya IAI bersama pemerintah mengusulkan permenkes tentang E-farmasi. Permenkes tentang E-farmasi mengatur yang boleh menjual obat obatan secara online harus ada penanggungjawabnya, yaitu apoteker. Dengan begitu obat tersebut dijamin keasliannya. Dengan adanya apoteker maka bisa memberi informasi yang memadai Tidak seperti sekarang banyak online yang menjual obat-oabatn dan kita tahu itu sebenarnya asli atau tidak,’’ ungkap Nurul.
Berikutnya berkaitan dengan transformasi pendidikan apoteker. IAI menginginkan, semestinya pendidikan apoteker, hanya memerlukan satu kali ijin dan bukan dua kali ijin seperti sekarang ini. Saat ini ijin Perguruan Tinggi Farmasi memerlukan ijin meluluskan sarjana farmasi dan ijin meluluskan apoteker.
‘’Jadi mestinya kalau orang masuk ke fakultas farmasi, lulus menjadi apoteker, seperti orang masuk ke fakultar kedokteran, jadi dokter. Kalau S1 Farmasi tidak ada kewenangannya, bahkan dalam perundangan tergolong tenaga teknis kefarmasian. Jadi kasihan kalau hanya mendidik sampai S 1 farmasi, mestinya semuanya apoteker,’’ tambah Nurul.
Saat ini dari 182 prodi (program studi) farmasi hanya 38 yang punya prodi apoteker. Bila ini dibiarkan saja, kedepannya akan menjadi bottle neck, untuk melanjutkan ke pendidikan apoteker, kalau tidak ada semacam crash program dari pemerintah supaya pendidikan S1 Farmasi ini dimampukan untuk bisa menjadi apoteker, tentu dengan akreditasi yang baik minimal B.
Mengenai jumlah apoteker yang telah melakukan praktek kefarmasian di apotek, saat ini baru mencapai 60 persen.
‘’Kita ingin semua apotek pada saat jam pelayanan apotekernya berada di tempat. Kita ingin persis seperti dokter kalau namanya klinik, dokternya ada disitu, lha ini apotek, mestinya apotekernya ada disitu,’’ tuturnya.
Kendala utama adalah karena di masa lalu, apotek hanya diwajibkan memiliki satu apoteker penganggungjawab. Sementara dalam peraturan yang baru, yaitu Permenkes No 31 Tahun 2016 menyatakan, sepanjang jam buka apotek, maka harus ada apoteker penanggungjawab. IAI mulai mengadvokasi anggotanya sejak 2017 yang lalu.
‘’Advokasi akan terus kita laksanakan, kita mendorong agar apoteker back to basic, khususnya apoteker di pelayanan,’’ katanya. Apoteker di pelayanan didorong untuk praktek dengan melakukan CPD (continuing profetional developmet) supaya mereka makin mampu. Kedua harus bekerjasama dengan pemilik apotek bahwa apotek bukan tempat penjualan obat, tapi tempat pengabdian profesi oleh apoteker, tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker.(*)