Tue. Sep 17th, 2024
Talkshow Mengatasi Anak Takut Benda

JAKARTA, Gohappylive.com – Setiap anak memiliki profil berbeda-beda. Ada yang senang bermain pasir, bermain rumput, tetapi ada juga yang takut dengan benda-benda tersebut. Ini trik mengatasinya.

“Setiap anak memiliki profil yang berbeda-beda. Orang tua harus tahu profilnya dan memahami apa kebutuhan anak termasuk apa yang disenangi dan ditakutinya,” kata Founder dan Managing Director Jakarta Child Development Center (JCDC) Nadia Emanuella Gideon, MPsi Psikolog dalam talkshow memperingati Hari Anak Nasional yang dihelar JCDC baru-baru ini.

Seorang peserta talkshow, Roger, menceritakan pengalamannya menangani putranya yang mengalami keterlambatan bicara (speech delay) dan juga takut dengan pasir.

“Anak saya berumur 4 tahun, speech delay. Dia juga takut pasir. Sudah diterapi sensory pasir berbulan-bulan, tapi tetap gak ada hasil,” ungkap Roger.

Roger akhirnya membawa putranya ke pantai. “Awalnya anak saya nangis takut sama pasir. Tapi setelah datang yang ketiga kali ke pantai, sudah tidak menangis lagi,” cerita Roger.

Menanggapi itu, Nadia menjelaskan, setelah orang tua paham anak takut pasir, anak memang tetap harus dikenalkan dengan pasir. “Tetapi caranya harus pelan-pelan, tidka boleh dipaksa. Cari tahu dulu, mainan apa yang disenangi anaknya,” saran Nadia.

“Anak saya suka main mobilan,” jawab Roger.

Triknya, lanjut Nadia, ajak anak bermain mobilan truk barang. “Pertama, isi truk dengan benda yang tidak diatkuti anak, bisa batu atau lainnya,” kata Nadia.

Hari berikutnya, lanjut Nadia, sedikit-sedikit di antara batu, masukan pasir. “Jadi, jangan dilakukan sekaligus. Sedikit-sedikit saja masukin pasir. Lanjutkan lagi besoknya, jangan sekaligus. Lakukan terus sampai anak tidak takut lagi dengan pasir,” trik Nadia.

Pendekatan DIR Floor Time

JCDC, kata Nadia, berupaya menjadi partner yang terpercaya bagi para orang tua dan individu dalam menghadapi tantangan pengasuhan, mengoptimalkan tumbuh kembang, dan kesehatan mental serta pengembangan diri anak dan remaja.

“Kami bekerja dalam berbagai disiplin ilmu dengan transdisiplin (ini level tertinggi dari multidisiplin) karena trans berarti satu anak diobservasi praktisi dari berbagai disiplin ilmu dan secara customize.

Kami membuat dan melakukan program untuk anak dan remaja tersebut dengan melibatkan orang tua untuk mencapai potensi terbaiknya sesuai prinsip DIR Floortime yang kami pegang teguh yaitu ‘Semua anak memiliki potensi menjadi anak hebat’. Tugas kita semualah untuk menciptakan dunia yang terbaik agar potensi ini bisa berkembang,” jelas Nadia.

Nadia menjelaskan, pendekatan metode DIR (Developmental, Individual-Differences, Relationship-based) Floortime mendorong proses perkembangan anak (Development) dan memahami serta mendorong keunikan individu (Individual Difference), dengan didasari proses yang menyenangkan dan berbasis interaksi-Relasi-koneksi antara anak dengan orang di sekitarnya untuk mendorong potensi anak terpenuhi.

“Pendekatan ini memahami bahwa setiap individu anak berbeda. Ada anak yang sensitif dengan bau-bauan. Ada yang tidak. Ada yang tidak suka label baju di kerah, sementara anak lain biasa saja. Orang tua harus pahami keunikan itu,” jelas Nadia yang mengungkap DIR Floortime efektif untuk mengatasi anak dengan kelainan perkembangan seperti autis, down syndrom, dan sebagainya, serta untuk anak trauma dan masalah emosi.

Untuk memahami itu, tentu dibutuhkan koneksi dan relationship yang baik antara orang tua pada anaknya. “Relationship itu sebagai bensin dari perkembangan anak. Sentuh, peluk, dan ajak anak bicara apa yang dirasakannya,” tandas Nadia.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *