Gohappylive.com,JAKARTA–Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sebagai organisasi profesi apoteker di Indonesia menjawab issue mahalnya harga obat di Indonesia dibanding negara Malaysia. Hal ini tentu saja membuat resah masyarakat yang tengah memperjuangkan kesembuhan.
Sebagai organisasi profesi yang paling bertanggung jawab terkait obat , pada Kamis, 25 Juli 2024 IAI memberikan keterangan pers kepada awak media guna memberikan edukasi kepada masyarakat.
“Terkait pemberitaan di media , IAI ingin menyampaikan bahwa masyarakat perlu memahami adanya 3 jenis obat yang beredar di Indonesia yang turut mempengaruhi harga obat secara signifikan,” ungkap apt Noffendri Roestam, S.Si , Ketua Umum PP IAI.
Adapun 3 jenis obat tersebut, yaitu :
Pertama, Obat Paten (atau sering juga disebut originator) – obat yang memiliki perlindungan paten, pada umumnya sekitar 15-20 tahun sejak obat tersebut diajukan patennya.
Obat ini memperoleh paten karena merupakan obat pertama yang ditemukan dan dilengkapi dengan uji klinis yang lengkap tahap 1 hingga tahap 3.
Kemudian, Obat Generik bermerek – obat dengan merek yang dibuat setelah masa paten habis
Ketiga, Obat Generik – obat dengan menggunakan nama kimia yang dibuat setelah masa paten habis.
Saat ini Indonesia memiliki sekitar 190 pabrik industri Farmasi PMDN (Pemilik Modal Dalam Negeri) dan 20 PMA (Pemilik Modal Asing).
Terlihat dari jumlah komposisi Industri Farmasi yang ada, Industri Farmasi PMA memegang hak memproduksi dan memasarkan obat yang masih dalam masa paten, begitu masa patennya habis sebagian besar pasarnya akan diambil alih oleh produksi farmasi dalam negeri. Harga obat generik bermerek ini jauh lebih murah daripada obat paten, diperkirakan sekitar 30-50% lebih rendah. Sedangkan harga obat generik jauh lebih murah lagi dari obat generik bermerek.
Saat ini sebagian besar dari 3 jenis obat tersebut tersedia dalam JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dengan harga khusus. Harga Obat JKN ini bahkan sangat murah, 93% dari kebutuhan tablet berada di bawah harga Rp 500,-, 77% dari kebutuhan sirup berada di bawah harga Rp 5.000,- dan 65% dari kebutuhan injeksi berada di bawah harga Rp 2.000,-. Saat ini sebanyak 94,77% masyarakat Indonesia telah menjadi peserta JKN.
“Sehingga akses masyarakat Indonesia untuk memperoleh obat murah dan berkualitas bahkan gratis sudah terjamin melalui program pemerintah. Hal ini terlihat dari data penjualan obat di Indonesia, di mana 81% obat yang beredar dan digunakan di Indonesia adalah obat generik dan obat generik bermerek yang diproduksi oleh industri farmasi PMDN,” lanjut Noffendri.
Sementara itu, Ketua Hisfardis/Himpunan Seminat Farmasi Distribusi PP IAI, apt Hanky Febriandi, S.Farm menambahkan bahwa perbandingan obat dengan harga premium yang terjadi sebenarnya adalah obat originator yang beredar di Indonesia dan hampir di seluruh negara di dunia.
“Hasil pemeriksaan ulang dari IAI bekerjasama dengan MPS (Malaysia Pharmaceutical Society), untuk obat paten secara umum memang harga obat paten di Indonesia lebih mahal dari Malaysia walaupun tidak semua karena adanya faktor perpajakan dan akses terhadap masyarakat luas di negara tersebut,”tutur Hanky.
“Adapun, hasil pemeriksaan lebih jauh kami untuk beberapa item obat, jumlah unit obat originator yang dijual di Malaysia, rata-rata 2-3x lebih besar secara volume daripada jumlah unit obat paten tersebut di Indonesia. Faktor perbedaan volume ini juga berpengaruh terhadap penetapan harga di negara tersebut,” katanya.
Sebenarnya masyarakat Indonesia, lanjut Hanky, tetap memiliki akses obat yang terjangkau karena ketersediaan obat generik dengan harga murah di Indonesia.
“Setelah kami bandingkan harga obat di Malaysia jika dibanding dengan harga obat generik bermerek di Indonesia ternyata harga obat di Indonesia jauh lebih murah. Apalagi jika dibandingkan dengan obat generik ataupun obat JKN. Obat generik yang diproduksi di Indonesia ini memiliki kualitas produk yang setara dengan originator karena mengikuti standar internasional (GMP atau dikenal CPOB) dan juga sudah diperiksa oleh BPOM. Di mana salah satu syarat izin edar adalah memiliki uji bioekivalensi,” ujarnya.
Uji bioekivalensi ini menunjukkan bahwa jumlah obat yang terserap dan terbuang di dalam tubuh sama persis dengan obat originator, sehingga diharapkan memiliki efek farmakologi yang sama juga.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia memiliki akses terhadap obat berkualitas dengan harga terjangkau. Masyarakat Indonesia mempunyai kebebasan memilih pengobatan dan obat yang sesuai dengan harga dan kemampuan ekonominya.
“Oleh sebab itu kami mendorong masyarakat untuk selalu berdiskusi dengan Apoteker untuk memilihkan obat generik yang sesuai sebagai langkah cepat untuk mengurangi biaya obat. Kami juga mendorong masyarakat untuk mengikuti program JKN melalui BPJS agar mendapatkan pengobatan gratis jika merasa berat untuk membeli obat dari uang sendiri,” urai Hanky.
Sementara dari sisi distribusi, keberadaan PBF sebagai salah satu mata rantai di rantai pasok produk farmasi sangat penting. Keberadaan PBF terlegitimasi melalui Permenkes No 1148 Tahun 2011, perubahan pertama dengan Permenkes No 34 Tahun 2014 dan perubahan kedua Permenkes No 30 tahun 2017 tentang Pedagang Besar Farmasi.
Eksistensi PBF dalam menjaga mutu terkawal dengan adanya sertifikasi CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik) yang digawangi oleh BPOM.
Sehingga mutu produk kefarmasian mulai dari industri hingga ke tangan faskes terjaga dengan baik.
Peran PBF dalam biaya obat yang ada di Indonesia tidak cukup siginifikan, karena perolehan fee distribusi dari pihak industri hanya berkisar antara 5 – 12 persen.
Fee tersebut diberikan berupa diskon dari industri, artinya harga yang ditawarkan ke fasilitas Kesehatan (faskes) adalah murni harga yang dipatok oleh industri. Dengan fee tersebut digunakan untuk biaya operasional logistic dan juga pengiriman.
Bila faktor PBF dihilangkan, maka artinya industri farmasi harus langsung berhubungan dengan konsumen, dalam hal ini fasilitas kesehatan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu di seluruh Indonesia, termasuk di pelosok tanah air.
Ini akan berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan oleh industri yang berujung pada dibebankannya pada harga obat.