Wed. Dec 25th, 2024

Tips Dari Pakar Agar Perusahaan Berkembang, Hindari Bias Generasi di Tempat Kerja

JAKARTA- Desainer Nina Nugroho melalui gerakan #akuberdaya yang dideklarasikan pada 24 September 2021 lalu, bekerja sama dengan assosiasi Tempa Trainers Guild (TTG) rutin mengadakan sharing session seputar berbagai tantangan yang dihadapi para wanita multiperan . Hingga setahun ke depan, kegiatan yang digelar secara gratis itu menghadirkan puluhan trainer yang kompeten di bidangnya.

 

 

Pada minggu ke-5 pelaksanaan sharing session, Aster Sisi, trainer yang bergelut sebagai Multigeneration Communication Partner menyampaikan materi bertema ‘Working successfully with different people’.

Sebagaimana kita ketahui ada banyak generasi berbeda berada dalam satu lingkungan kerja. Keberagaman ini seharusnya bisa membuat situasi kerja menjadi lebih baik, karena setiap generasi mestinya dapat saling melengkapi satu sama lain. Namun kenyataannya, perbedaan generasi kerap menyebabkan konflik di lingkungan kerja.

Jika merunut pada sifat dan karakteristiknya, setidaknya terdapat 5 generasi pada dunia kerja saat ini, meliputi: generasi Tradisionalists, Baby boomers, generasi X, Millennials, dan generasi Z.

Untuk generasi Tradisionalists yang lebih dikenal dengan sebutan veteran atau silent, sebagian besar sudah memasuki usia pensiun. Bahkan kalau pun ada yang masih bekerja tentunya sudah mencapai puncak karier.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam dunia kerja saat ini, setiap orang hanya dihadapkan pada 4 generasi saja.
Dimana para oomers yang dikenal sebagai workaholic atau pecandu kerja berhadapan dengan 3 generasi dibawahnya.

Sementara generasi X adalah karakter pekerja yang terbiasa menerima instruksi dan menyelesaikan pekerjaan dengan sedikit pengawasan. Hal ini tidak terlepas dari bentukan keluarga yaitu ayah ibu bekerja, banyak gen X menyukai kemandirian dalam hal pengambilan keputusan.

Generasi Millennials atau gen Y lahir di rentang tahun 1981 hingga 1996 menjadi generasi pertama yang tumbuh dewasa di tengah pesatnya pertumbuhan internet.

Mereka merupakan generasi dengan strata pendidikan yang mumpuni saat ini. Semangat kerja keras pada generasi ini banyak dipengaruhi oleh orang tua mereka (generasi Boomers).

Namun sayangnya, generasi ini kerap mendapat label sebagai generasi yang manja, kurang empati dan tidak sopan serta terlalu bergantung pada teknologi.

Generasi Millennials juga dikenal sebagai pekerja ‘kutu loncat’, yaitu sangat mudah berpindah dari tempat kerja satu ke tempat kerja lainnya. Orientasi utama mereka adalah gaji besar dengan berikut tunjangan, dan asuransi kesehatan.

Generation Z atau gen Z dengan rentang tahun kelahiran 1997- 2012 adalah generasi terbaru yang memasuki dunia kerja. Mereka tumbuh dan berkembang dalam era digitalisasi yang massiv. Tak heran apabila gen Z sangat akrab dengan teknologi dan media social. Kondisi ini jugalah yang secara tidak langsung membentuk mereka memiliki banyak keahlian (multi tasking).

Namun tantangan untuk mereka di dunia kerja juga cukup berat, karena harus berhadapan dengan generasi diatas mereka yang terkadang masih memandang mereka sebelah mata (merasa kurang dihargai lantaran jarak usia yang jauh).

“Di tempat kerja dengan berbagai generasi sering terjadi salah paham tentang kebiasaan kerja satu sama lain. Padahal harus disadari bahwa orang-orang dari setiap generasi yang bekerja dengan kamu memang memiliki cara bekerja yang berbeda dari kamu,” ungkap Aster Sisi, pakar multi generasi pada acara sharing session bertajuk ‘Working successfully with different people’, baru-baru ini.

Aster Sisi menanyakan kepada audience yang mengikuti sharing session terkait kendala atau tantangan apa saja yang dihadapi ketika bekerja dengan orang-orang yang berbeda.

Beragam jawaban pun datang, diantaranya: sering terjadinya salah paham, pola pikir, harus mengenali karakter, jangan bossy, beda frekwensi, knowledge gap, beda sudut pandang, sulit menerima hal baru, dll.

“Tenyata memang banyak kendala ketika kita bekerja dengan orang yang berbeda-beda. Karena kebanyakan dari kita memahami kata different (berbeda) itu menjadi difficult (susah). Apalagi kalau dikaitkan lagi dengan perbedaan generasi. Maka perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan clash, bentrok komunikasinya,” tutur Aster Sisi.

Bahkan clash komunikasi ini sudah lama terjadi, terutama ketika teknologi semakin berkembang. Di perusahaan-perusahan clash terjadi kepada newbie atau junior nya.

“Ketika saya menjadi newbie juga pernah mengalami. Aduh rasanya semua yang saya kerjakan salah aja di mata senior. Mau dijawab takut dosa, dilawan dosa. Mungkin leader-leader kita juga berpikir sama. Aduh ini junior-junior bikin sakit kepala,nggak sopan, bikin runsing,” ujarnya, lagi.

Aster Sisi memberikan beberapa contoh clash komunikasi yang paling sering terjadi di tempat kerja:
1.Salah paham terhadap diksi atau kosa kata yang mengalami pergeseran
Salah satunya kata anjir, jaman dulu dimaknai sebagai kata ganti dari nama binatang, anjing. Dulu kata ini kerap terdengar ketika seseorang mengumpat atau marah.

Namun sekarang kata anjir, buat anak sekarang menggunakan untuk mengungkapkan ekspresi keterkejutan.

“Anak-anak sekarang mau bilang woow aja ‘anjiir’. Padahal jaman saya dulu anjir itu ya temannya scooby do. Dulu kita mau bilang wow kan dengan kata gila, gokil. Jadi memang ada beberapa diksi yang mengalami pergeseran,” papar Aster Sisi.
2. Ekspresi seperti tidak senang, padahal sebenarnya sedang berpikir
3.Melihat anggota tim sepertinya baik-baik saja padahal tidak terima
4. Anggota tim terlihat asik main smartphone, leader berpikir ‘kok gue dicuekin’ . Padahal dia sedang mencatat di smartphone.

“Karena keseringan clash komunikasi akibatnya terjadi yang namanya less trust. Dari sini jadi timbullah curiga. Kalau di kantor, seorang leader sudah less trust, tiap mau delegasikan tugas ke salah satu anggota tim akan mikir seribu kali. Sebaliknya anggota tim juga begitu. Begitu nggak percaya, apa yang diomongin leadernya, mudah dicurigai. Semuanya mental
Nih leader kenapa ngomongnya gini ya? Bos gw kenapa ngasih feed ke gw begini, maksudnya apa sih nih?. Akhirnya suasana nggak nyaman. Mau berangkat ke kantor, aduh gw ke kantor, ketemu bos. Males banget,” beber Aster Sisi, mencontohkan.

Akumulasi dari semuanya menimbulkan hasil kerja yang buruk. Perusahaan tidak bertumbuh dengan baik. Baik leader maupun tim kerja susah untuk maju.
Lantas bagaimana cara menghindari bias generasi di tempat kerja ini?

“Stereotip hanya akan menyebabkan kebencian dan menghambat budaya perusahaan untuk berkembang. Pada saat leader menghubungkan sifat atau kebiasaan kerja tertentu dengan seseorang, maka yang terjadi adalah kita sedang menggambarkan kepribadian seseorang,” ujar Aster Sisi.

Untuk itu dia memberi saran,agar semua pihak, terutama dalam hal ini leader untuk membangun budaya kerja yang lebih nyaman.

Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki komunikasi positif dan suasana kerja menyenangkan. Dari sini pelan pelan akan terjalin keakraban, saling support, open mind, influence, antusias, genuine, bertumbuh dan happy.

“Ketika kita sudah nyambung, akrab, trust kita akan tinggi banget. Tim kita juga tidak akan curiga karena mereka percaya kita beri tugas agar mereka bertumbuh. Dengan begitu perusahaan langsung bertumbuh dan mendunia,” urai Aster Sisi.

Aster Sisi mengatakan menghindari bias generasi ini tidak saja dapat diterapkan di lingkungan kerja, tapi juga pada pola asuh orang tua terhadap anak, dosen/ guru terhadap mahasiswa atau siswanya.

“Seperti saya singgung diatas bahwa clash komunikasi sebenarnya terjadi dari semua lini kehidupan. Jadi termasuk ke anak ya, kalau kita bisa perbaiki cara komunikasi, Insya Allah sudah nggak perlu ngomong berbusa-busa lagi. Kita ngomong sedikit saja, mereka sudah langsung yess,” pungkas Aster Sisi.

 

 

Foto: Unsplash

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *