Thu. Nov 21st, 2024

Hasil Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi DJSN: Pandemi Covid -19 Sebabkan BPJS Kesehatan Alami Penurunan Jumlah Peserta Aktif

GoHappyLive.com, JAKARTA– Dewan Jaminan Sosial Nasioanl (DJSN) menyampaikan hasil Pengawasan, Monitoring, Evaluasi (PME) DJSN dan Isu Strategis Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Hal ini dilakukan guna  memberikan informasi secara transparansi kepada masyarakat terkait Jaminan Sosial Nasional.

 

PME DJSN disampaikan langsung kepada sejumlah awak media melalui forum diskusi oleh Tono Rustiano, Ketua Komisi Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi (PME) DJSN, pada Rabu, 5/5.

Selanjutnya diskusi dibuka oleh Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni melalui jaringan virtual. Choesni menyampaikan, dalam kondisi pandemi, pemerintah  harus menjamin pelayanan kesehatan yang menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas pelayanan kesehatan.

“Pandemi telah mengubah banyak tatanan kehidupan kita termasuk layanan kesehatan. Di tengah perubahan tatanan kehidupan pemerintah terus berupaya menjaga keberlangsungan program JKN termasuk memperbaiki tatanan pelaksanaan sistem jaminan sosial,” ungkap Choesni.

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dan lebih luas.

Dalam pelaksanaannya SJSN melibatkan seluruh elemen masyarakat. Oleh karena menurut Choesni upaya menjamin keberlangsungan JKN adalah prioritas utama pemerintah.

“Hal tersebut demi memberikan perlindungan kesehatan secara menyeluruh kepada penduduk Indonesia seperti yang dijelaskan dalam amanah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), ” papar Choesni.

Sementara itu  Tono Rustiano memaparkan hasil PME DJSN yang dilakukan dengan menggunakan mekanisme Monev Online di dua provinsi tiap bulan dengan pendalaman ke lapangan.

Hasil Monev Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah dilakukan DJSN adalah sebagai berikut :
1. Hampir semua kabupaten/kota memiliki perwakilan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan telah meningkatkan transparansi data walaupun masih adanya perbedaan pendefinisian prinsip keterbukaan antara BPJS Kesehatan dan pemangku kepentingan.

2. BPJS Kesehatan menghadapi penurunan jumlah peserta aktif dibandingkan Tahun 2019 dan penambahan iuran anggota keluarga lain peserta PPU masih belum ada perkembangan dari tahun sebelumnya serta kondisi pandemi COVID-19 menjadikan makin sulitnya peserta menambahkan iurannya.

3. Aplikasi elektronik badan usaha (e-Dabu) masih mengalami kendala teknis dan memerlukan perbaikan dan pengembangan. Kenaikan iuran dan restrukturisasi anggaran Pemda mengakibatkan jumlah kepesertaan PBPU Kelas III mengalami penurunan di beberapa daerah. Penyelenggaraan JKN-KIS mengalami penurunan akses karena situasi pandemi COVID-19.

4. Jumlah kasus dan biaya pelayanan rawat jalan di FKRTL secara umum mengalami penurunan, kecuali pelayanan prosedur dialisis.

5. Pelayanan digital dalam masa covid 19 ini menjadi kebutuhan penting bagi pelayanan antrian maupun pengembangan layanan kesehatan digital yang sedang dikembangkan oleh BPJS Kesehatan.

6. Jumlah kasus dan biaya pelayanan rawat inap di FKRTL mengalami penurunan signifikan, kecuali kasus-kasus persalinan, baik melalui vaginal maupun pembedahan. Aset netto DJS Kesehatan masih tercatat minus Rp5,685 triliun sehingga situasi keuangan aset DJS Kesehatan belum dapat dianggap ‘sehat’.

7. Rasio likuiditas DJS Kesehatan mengalami perbaikan, namun, rasio ini masih berada di bawah standar aman, yakni 120% terhadap aset jangka pendek. Perlu kewaspadaan di masa depan jika akses peserta JKN ke layanan kesehatan mengalami rebound.

Di bidang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan hasil Monev menunjukkan bahwa:
1. Perlunya perbaikan regulasi cukup luas dalam berbagai bidang/hal diantaranya pengaturan jaminan perlindungan untuk ASN, pekerja migran Indonesia, pengambilan JHT, dan pekerja rentan.

2. Sektor informal dengan cakupan pekerja yang merupakan jumlah pekerja terbesar memerlukan upaya extra-ordinary dengan pendekatan khas untuk dapat melindungi para pekerjanya yang jumlahnya sangat jauh melebihi pekerja sektor formal.

3. Pembenahan database kepesertaan yang belum juga tuntas selama bertahun-tahun memerlukan keseriusan prioritas penanganannya.

4. Diperlukan penguatan pelayanan pekerja migran Indonesia (PMI) yang belum cukup terlindungi.

5. Masih diperlukan sosialisasi terkait manfaat-manfaat program BP Jamsostek secara langsung kepada peserta.

6. Penyiapan sistem IT yang andal guna memastikan proses dan prosedur pendaftaran peserta, pembayaran iuran, pengecekan saldo jaminan hari tua dan pengajuan klaim tidak mengalami hambatan. Namun, kondisi geografis juga menjadi tantangan dalam menyediakan jaringan untuk mendukung sistem IT dan online system berjalan baik.

7. Program jaminan pensiun mendapat perhatian dan diminati oleh perusahaan, terutama perusahaan yang belum memiliki perlindungan pekerja melalui lembaga pensiun sendiri.

8. Timbulnya resiko kerugian besar, baik realized maupun unrealized, merupakan hal yang wajar karena dinamika pasar modal. Tetapi, tinjauan terhadap sistem dan mekanisme pengambilan keputusan dan pengendalian resiko, serta pelaksanaannya, tetap diperlukan untuk menguji kewajaran tersebut.

Selanjutnya, Iene Muliati, Ketua Komisi Penyiapan Kebijakan DJSN menyampaikan isu strategis terkait penyelenggaraan SJSN. Isu strategis terkait implementasi JKN meliputi:
1. 82,5% penduduk Indonesia sudah menjadi peserta JKN, dimana 59,7% merupakan peserta PBI, diikuti oleh PPU sebesar 24,8%; lalu PBPU sebesar 13,7%; dan BP sebesar 1,8%.

2. Sebaran peserta JKN tidak merata, yang didominasi oleh 5 Provinsi (56,7% peserta), yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten. Dimana sebanyak 10,9% nya merupakan berstatus nonaktif.

3. Diperlukan kebijakan untuk melakukan reformasi sistemik, termasuk perbaikan data, optimalisasi penggunaan TI, Integrasi data dan sistem serta perbaikan tata kelola.

Sedangkan untuk  isu implementasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan , Iene menyebutkan beberapa hal, yaitu:
1. Cakupan kepesertaan masih rendah. Pada Agustus 2008 menunjukkan bahwa 99,9% dari total Badan Usaha (BU) adalah UKM tapi sampai Agustus 2020 baru 8,6% UKM ikut dalam program jamsosnaker.

2. Porsi peserta nonaktif besar. Jumlah Peserta nonaktif cenderung meningkat setiap tahun.

3. Cakupan kepesertaan di daerah belum merata dan hanya berpusat di DKI Jakarta, Jawa, dan Banten.

4. Pembayaran klaim program jamsosnaker mulai mengejar besaran iuran.

5. Aset Dana Jaminan Sosial (DJS) bidang Ketenagakerjaan tidak mengalami peningkatan signifkan, salah satunya karena pekerja informal yang mendominasi angkatan kerja banyak yang belum menjadi peserta program jamsosnaker.

“SJSN bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sehingga kemungkinan memerlukan manfaat tambahan di luar SJSN. Konsep multipilar dimana manfaat tambahan yang diselenggarakan institusi lainnya diperlukan. Koordinasi Antar Penyelenggara (KAP) diperlukan dalam mengisi kebutuhan tersebut. Arah kebijakan SJSN dengan memperhitungkan transformasi sosial dan ekonomi Indonesia perlu dilakukan dengan membangun ekosistem implementasi program SJSN yang komprehensif dan terpadu untuk keberlanjutan SJSN,” ungkap Iene

Ekosistem komprehensif dan terpadu sendiri  meliputi 5 (lima) bidang yaitu regulasi, institusi, operasional, teknis, dan sumber daya.

Misalnya dari sisi cakupan perlindungan, perlu mendorong kepesertaan PBPU/sektor informal yang masih menjadi mayoritas pekerja di Indonesia dan membutuhkan sistem perlindungan sosial.

Sehingga lanjut Iene, dibutuhkan keikutsertaan pekerja sektor informal untuk melindungi hari tua mayoritas pekerja di Indonesia.