Wed. May 8th, 2024

Trombositosis Biasa Terjadi Pada Pasien Dengan Infeksi Berat Bukan Hanya Karena Covid-19

GoHappyLive.com,JAKARTA-Untuk membuktikan bahwa dalam tubuh seseorang telah terinfeksi bakteri atau virus, tidak perlu dilakukan proses otopsi atau bedah mayat. Pemeriksaan adanya infeksi bakteri atau virus, cukup dilakukan dengan pemeriksaan hematologi, Procalcitonin (PCT) dan kultur.

‘’Melakukan otopsi atau bedah mayat pada jenasah korban Covid-19 tentu beresiko akan tertular. Untuk apa harus beresiko melakukan otopsi hanya untuk mengetahui apakah jenasah tersebut telah terinfeksi bakteri atau virus, kalau bisa dilakukan dengan cara yang lain,’’ ungkap Apt Drs Julian Afferino, MS, CEO Pharmacare Consulting kepada GoHappyLive.com, menanggapi beredarnya postingan yang menyebutkan bahwa Covid-19 bukanlah virus melainkan bakteri.

Dalam postingan yang banyak beredar di berbagai grup whatsapp tersebut, disebutkan hasil otopsi dokter di Italia menemukan, bahwa Covid-19 bukanlah virus melainkan bakteri yang menyebabkan thrombosis dan menyumbat pembuluh darah di paru-paru. Karena itu, Covid-19 cukup diobati dengan antibiotik, paracetamol dan aspirin. Dalam postingan tersebut juga disampaikan WHO melarang dilakukannya otopsi untuk menutupi kenyataan ini.

Julian memastikan, bahwa hal itu adalah hoax. Menurut Julian, untuk mengetahui infeksi bakteri atau virus cukup dengan melihat hasil pemeriksaan hematologinya. Bila ada peningkatan neutrofil dan monosit, diikuti dengan peningkatan BSR (Blood Sedimentation Rate), maka ini merupakan pertanda awal telah terjadi infeksi bakteri. Sedangkan pada infeksi virus, neutrofil cenderung mengalami penurunan sedangkan monosit meningkat, dan pada kasus infeksi covid-19 juga terjadi penurunan kadar limfosit absolut.

Setelah pemeriksaan hematologi, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan kimia patologi PCT. Bila kadar PCT < 0,5 ng/mL menunjukan bukan infeksi bakteri, bila hasilnya 0,5-2,0 ng/mL terjadi Systemic Inflamation Response Syndrome, yang menunjukkan pasien bisa saja terinfeksi oleh bakteri maupun virus, sedang bila kadar PCT > 2.0 ng/mL berarti telah terjadi infeksi bakteri.

‘’Jadi hasil pemeriksaan PCT ini dapat dijadikan panduan dalam pengobatan infeksi bakteri. Sekali lagi, tidak perlu dilakukan otopsi. Kadang pasien Covid-19 menunjukan kadar PCT >2,0, hal ini menunjukkan kemungkinan terjadi infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, itu sebabnya diberikan antibiotik selain juga antivirus,’’ ungkapnya.

Langkah berikutnya untuk memastikan adanya infeksi bakteri adalah dengan melakukan kultur atau biakan bakteri dan pengamatan mikroskopis.

‘’Dari proses kultur dan pengamatan mikroskopis ini bisa diketahui jenis bakteri penginfeksi. Jadi sekali lagi tidak perlu harus dengan mengambil resiko melakukan bedah mayat, hanya untuk mengetahui apakah jenasah terebut meninggal karena infeksi bakteri atau virus,’’ ungkap Julian.

Julian yang memiliki perhatian besar terhadap perkembangan Covid-19 ini melakukan penelusuran asal usul postingan tersebut. Ia menemukan, postingan tersebut berasal dari laporan yang dirilis oleh dua rumah sakit di bagian utara Italia., yakni di daerah Bergamo, Milan, yakni RS Papa Giovanni XXIII Hospital dan Luigi Sacco Hospital . Dalam laporan yang ditulis oleh dr Luca Carsana et al pada 21 April 2020 tersebut disampaikan hasil penelitian terhadap 38 pasien yang meninggal akibat Covid-19. Laporan hanya menuliskan temuan kerusakan organ paru-paru akibat Covid-19. Temuan terpenting adalah adanya platelet fibrin-trombus dalam pembuluh arteri kecil yang mendominasi jaringan paru-paru. Laporan tersebut sama sekali tidak menyebutkan adanya infeksi bakteri sebagai penyebab thrombosis tersebut.

Laporan tersebut pertama kali diterbitkan dalam jurnal MedRxiv dengan satu peringatan agar tidak dijadikan panduan dalam mengambil tindakan klinis. Pasalnya laporan tersebut selain belum dilakukan verifikasi oleh ahli lain, juga dianggap belum lengkap,’’ jelas Julian. Baru beberapa minggu kemudian, dirilis laporan lengkapnya, setelah ditelusuri lebih jauh riwayat penyakit para korban, setelah mendapat persetujuan pihak keluarga.

Di laporan kedua ini, barulah diungkapkan, 38 jenasah yang dilakukan otopsi adalah korban Covid-19 yang telah berusia rata-rata 69 tahun dengan sejumlah komorbid penyakit berat. Diantaranya adalah 9 diabetes, 18 hipertensi, 11 kardiovaskuler, 4 penderita kanker tahap lanjut dan 3 penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

Di bagian lain, Julian juga membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa WHO selama ini melarang dilakukannya otopsi terhadap jenasah korban Covid-19.

‘’WHO justru mengeluarkan panduan otopsi jenasah korban Covid-19 secara lengkap dan detil, panduan ini antara lain guna mencegah tejadinya penularan terhadap petugas kesehatan yang melakukan otopsi,’’ terangnya.

Mengenai ditemukannya thrombosis atau pengentalan darah pada pasien yang diotopsi, Julian menyebut bahwa hal itu biasa terjadi pada pasien yang baru terkena infeksi berat.

‘’Trombosis biasa terjadi pada pasien yang mengalami infeksi berat, baik virus maupun bakteri. Jadi bukan hanya karena Covid-19,’’ ungkapnya.

‘’Mungkin ada pihak tertentu menghubungkan thrombosis ini dengan anti platelet, kemudian dibuat narasi di media sosial seolah penelitian tersebut merekomendasikan pengobatan menggunakan anti platelet, antibiotic dan anti inflamasi. Narasi tersebut sudah beredar di seluruh dunia. Ini sangat menyesatkan,’’ ungkapnya.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *